Baru kali ini saya nonton film Indonesia yang bikin tercengang. Bagus banget. Ya, kemarin malam tanggal 3 Januari, di RCTI, disiarkan film Indonesia Mengejar Mas Mas(MMM). Mungkin ada yang sudah nonton film dari gala premier atau juga baru menontonnya kemarin malam. Tapi bagi saya, menonton MMM tadi malam benar-benar pengalaman luar biasa. Kenapa? Karena:
1. Saya belum nonton Naga Bonar 2. Yang konon lebih bagus dari MMM.
2. Secara komunikasi, nih film sudah berhasil. Bahwa Lonte pun juga manusia. Maksudnya, saya jadi terbawa suasana dan malah berpihak kepada Ningsih yang dimainkan oleh Dinna Olivia. Apa yang disampaikan oleh Rudi Soedjarwo benar-benar mengenai hati dan pikiran. Tidak terlalu banyak berpikir dan bahkan bisa memperlihatkan masyarakat Jawa sana akan sikap hipokritnya(Em maaf, ini hanya penilaian saya). Dan penyampaian itu bisa berhasil.
Berdasarkan resensi Ruangfilm.com, film ini berkisah mengenai Shanaz (Poppy Sovia), gadis remaja ibukota yang melarikan diri ke Jogjakarta setelah bertengkar keras dengan Linda, mamanya (Ira Wibowo) mengenai rencana keinginan Linda untuk menikah kembali. Shanaz merasa bahwa sang mama tidak menghormati papanya (Roy Marten) yang baru saja meninggal delapan bulan yang lalu.
Merasa tidak ada tempat untuk mencurahkan isi hatinya, Shanaz memilih lari dari rumah untuk menyusul Mika (Marcell Anthony), sang kekasih yang sudah berada di Jogjakarta untuk mendaki gunung. Sial bagi Shanaz, ketika sampai di Jogja, Mika telah naik ke gunung sehari lebih cepat dari yang dijadwalkan.
Terlunta-lunta di Jogja, Shanaz tanpa sengaja memasuki daerah pelacuran Pasar Kembang, dimana Shanaz bertemu dengan Ningsih (Dinna Olivia), seorang pelacur asal Madiun. Ningsih yang baik hati merelakan Shanaz untuk tinggal di tempat kost-nya, yang berbeda lokasi dari tempat pelacuran. Di tempat kost ini, Ningsih mengaku dosen kepada suami istri pemilik kost yaitu Pak Toyo (Eddie Karsito) dan Wardah (Elmayana Sabrenia).
Tinggal di tempat kost tersebut, memperkenalkan Shanaz dengan beberapa orang di lingkungan tersebut, termasuk Parno (Dwi Sasono), seorang pengamen campur sari yang selama ini menaruh hati terhadap Ningsih. Parno pada dasarnya adalah pemuda yang baik, namun lambat laun mulai menaruh hati terhadap Shanaz. Terlebih juga Shanaz yang cuek diam-diam mulai terajut rasa suka terhadap diri Parno. Persoalan menjadi cukup rumit karena ternyata Ningsih juga masih menyimpan hati kepada Parno. Sehingga kisah cinta antara mereka, tampil cukup menarik dalam film ini.
Anyway, film yang menggunakan teknik kamera hand held ini, mengingatkan kita akan film Blair Witch Project atau film serial NYPD Blue. Tapi tidak terlalu banyak goyangannya sehingga tidak bikin pusing. Apalagi didukung oleh Dinna Olivia, enak dilihat dan nikmat.
Saya berharap makin banyak film-film Indonesia yang berkualitas sama atau lebih dari film ini. Go perfilman Indonesia.
Friday, January 04, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Kategori
info
(205)
foto
(133)
komentar ga penting
(128)
fotografi
(123)
Technology
(104)
Kantor
(95)
website
(88)
blog
(84)
Jakarta
(78)
comic strip
(75)
bisnis
(71)
karir
(51)
suara hati
(51)
senda-gurau
(50)
wisata
(38)
Bekasi
(37)
Internet
(34)
manajemen
(31)
kuliner
(22)
selebritis
(21)
soccer
(21)
Navision
(20)
iklan
(14)
kasus
(14)
sql server 2005
(13)
buku
(11)
Greeting
(10)
movie
(10)
komik strip
(9)
novel
(9)
programming
(9)
televisi
(9)
Banjir
(8)
VCD/DVD
(8)
kopi
(8)
Vanessa
(7)
billiard
(7)
hypermarket
(7)
bogor
(6)
kesehatan
(6)
rumah
(6)
old document
(5)
Terios
(4)
basket
(4)
guru
(4)
Axapta
(3)
bioinformatika
(3)
azure
(1)
2 comments:
Sedih....:((
Udah ditunggu-tunggu tertidur... gara-gara seharian keliling Jakarta. Terus besoknya ke Disc Tara, cari DVD nya, belum ada.
Nagabinar jadi 2 udah ada DVD nya.
Tapi sayangnya Monty Tiwa (penulis skenarionya) terlalu Jakarta-minded. Peristiwa seperti di film tidak mungkin terjadi di Yogya.
1. kosakata khas Yogya tidak ada sama sekali.
2. Tidak mungkin ibu-ibu di Yogya mudah dibodoh-bodohi seperti di film. Orang-orang Yogya termasuk cerdas.
3. orang-orang Yogya bukan tipe main hakim sendiri. FYI, di Yogya berkumpul berbagai macam faksi yang berseberangan seperti HT, MMI, PP Muhammadiyah, orang-orang kejawen, NII, GKJ, orang-orang kiri, dan herannya, tidak pernah bentrok.
4. di Yogya tidak ada 'warteg'. Tidak mungkin ada mahasiswa miskin dari Madiun keracunan nasi warteg.
Cerita itu mungkin terjadi di tempat lain di Jawa tetapi tidak mungkin di Yogya.
Tapi,
aku tetap salut ama adik kelasku (Dinna Olivia). Aku gak nyangka dia berani berperan seperti itu. Layak dapat penghargaan aktor wanita terbaik di FFI kemarin.
Post a Comment