Wednesday, June 27, 2007

Bisnis TI Indonesia dan investor

Berita detikinet yang berjudul "Upah Tenaga Kerja TI Indonesia Terendah Kedua di Dunia" cukup menarik perhatian saya. Disebutkan bahwa Jakarta, Penghasilan tenaga kerja teknologi informasi (TI) Indonesia terendah kedua di dunia, masih lebih rendah dari Ghana dan Filipina(Bersyukurlah kota Bandung dan Surabaya yang juga menghasilkan tenaga kerja TI tapi tidak disebut-sebut).

Dikatakan juga bahwa Dari sisi skill, Indonesia berada di peringkat 14. Namun dari sisi business environment Indonesia masuk di jajaran paling buncit, yaitu posisi ke-49 dari 50 negara, hanya unggul sedikit dari Senegal.

"Kekurangan kita adalah dari cara mengemas bisnis dan budaya kerja. Orang-orang TI kita ini masih bekerja kaya seniman, based on project. Ini masalah kebiasaan, dan ini yang masih jadi PR (pekerjaan rumah-red) kita. Mungkin kita harus sering mengadakan ajang kompetisi ICT, agar memicu minat bisnis," jelas Djarot Subiantoro, Ketua Umum Asosiasi Piranti Lunak Indonesia (Aspiluki).

Dari sini timbul pertanyaan, kenapa orang IT kita masih bekerja based on project? Tidak langsung membuat produk?

Yang jelas, cari investor itu susah. Mau ga mau, untuk membangun sebuah usaha dan mendapatkan modal pertama adalah dengan mendapatkan projek-projek pengerjaan software bisnis sendiri. Kenapa susah? Karena investor di Indonesia masih merupakan investor konservatif, ga berani rugi. Pertimbangannya benar. Karena jenis usaha Jasa pengerjaan aplikasi komputer di Indonesia bagi kacamata investor terlihat high risk low return. Misalkan perusahaan A mendapatkan projek pengerjaan aplikasi Sistem Informasi Keuangan Kredit Motor. Tahapan pengerjaan akan terbagi 3:

Pertama - Inisiasi yang merupakan penjelasan fitur-fitur apa saja yang akan dikerjakan. Tahapan ini sebentar, paling lama 1 bulan. Lalu tanda tangan kontrak dan pencairan invoice pertama. "Horee... dah dapat uang."

Kedua - Pengerjaan produk atau development. Tahapan ini cukup lama, bisa 7 bulan dan pasti molor hingga 1 tahun lebih. Disini para direktur bakal marah-marah sama project manager, "Kok lama banget sih kerjanya? Emang programernya ngapain aja sih?!"

"Blogging pak." Jawab salah satu manager.

"Halah! Kayak dia ga blogging aja." Cetus salah satu programer yang nguping dari balik pintu meeting.

Ketiga - Implementasi dan Maintenance. Tahapan ini yang paling lama, bisa 1-2 tahun lebih. Karena error-error dari aplikasi pasti akan bermunculan dan kekurangan-kekurangan yang dirasakan oleh klien akan timbul.

Jika dilihat dari panjangnya tahapan pengerjaan pengembangan aplikasi sistem informasi keuangan diatas, jelas, para investor bakalan gemes plus jengkel, "kok duit gue lama bener baliknya yah?"

Kasarnya jika kembalinya modal pengerjaan diatas adalah 3 tahun dan projek itu meraup untung paling banter 100 juta maka dia akan mendapatkan uangnya kembali sebesar 600 juta. Coba bandingkan, jika investor menyetorkan uangnya ke bank sebesar 500 juta untuk didepositokan dengan bunga 17% + jangka waktu 3 tahun yang akan berjumlah 500 juta + 255 juta = 755 juta. Pasti memilih didepositokan toh.

Saya masih ingat, ada sebuah cerita yang dituturkan oleh Tantowi Yahya ketika ia ada pertemuan dengan pembawa acara Who Wants To Be A Millioner di London. Tantowi Yahya bertanya kepada pembawa acara dari Inggris, "kenapa di Inggris banyak yang memenangkan hadia 1 milliar?"

Jawab lawan bicaranya, "Karena orang Inggris berani mengambil resiko."

Terlihat jelas cermin orang Indonesia dari penuturan Tantowi ini. Orang Indonesia, khususnya yang berduit, adalah orang yang tidak berani mengambil resiko. "Iya dong, gue dah cape-cape cari duit, masak mau di investasikan ke sesuatu yang belum tentu ngehasilin. Enak aja loe..."

Ngomong-ngomong, dapat dari mana angka 100 juta tadi?

Saya hanya mengambil kasarnya saja. Karena dalam produksi software di Indonesia, as far as I know, 100 juta adalah angka yang fantastis, even perusahaan software terbesar JATIS(PT Jati Piranti Solusindo) sekalipun.

Bagaimana jika langsung membuat produk?

Kalau menurut saya, justru untuk menciptakan sebuah produk dimulai dari project-project kecil. Project kecil itu ibarat pondasi dari sebuah rumah. Blueprint-nya lah. Setelah itu, baru design/arsitektur bangunannya dikerjakan. Misalkan, sebuah perusahaan IT mendapatkan projek pembuatan software akuntansi. Setelah selesai, diklaimlah produknya itu lalu ditambah-tambahi dengan fitur-fitur baru supaya lebih cantik dan bagus. Padahal sih ga beda jauh. Misalkan software akuntansi itu hanya berisi General Ledger, Account Payable dan Account Receiveable. Lalu si perusahaan IT tersebut menambahkan fitur-fitur B2B(Business to Business) dimana si perusahaan pemakai bisa mengirimkan PO via EDI ke supplier. Makanya, bapak-bapak dan ibu-ibu direktur yang menggunakan jasa software house, terimalah apa adanya.

Kenapa harus aplikasi yang sudah umum untuk dijadikan sebuah produk?

Halah!!! Banyak tanya nih!!!
Udah ah... Capek nulisnya.

Topik mengenai investasi, bisa anda baca lebih jauh di blog Ibu Enny pada tulisan-tulisan ini:
Pilihan investasi bagi pemilik dana

Risiko yang dihadapi berbagai jenis usaha

Apa yang harus diperhatikan oleh seorang investor

Kemana mencari tambahan modal?

11 comments:

Omith said...

pertamax..
tanda tangan nang udels.. :)

kapan ya .. indonesia bisa menghargai kemampuan rakyat nya yang creatip2 ini.. huhu .. :)

*ujung2 e pengen nae gaji*

pyuriko said...

Inilah tulisan yang serius...

pyuriko said...
This comment has been removed by a blog administrator.
Anonymous said...

posting ini menghabiskan energi berapa kalori dan waktu berapa jam, om? :D

Anonymous said...

Djarot Subiantoro, Ketua Umum Asosiasi Piranti Lunak Indonesia (Aspiluki): "Orang-orang TI kita ini masih bekerja kaya seniman, based on project ..." keliatan banget wawasan dan pergaulan harus diperluas :) Bach, Mozart, Da vinci, Spielberg (gw sebutin yang orang awam udah pasti tau dan denger namanya aja) dan lainnya menciptakan product master pieces bukan karena project based ... sorry nih koreksi-koreksi dikit :)

adiwirasta said...


@mit@:
"kapan ya .. indonesia bisa menghargai kemampuan rakyat nya yang creatip2 ini.. "
Wah, musti tanya mama Lauren tuh, hehehe...

@pyuriko:
Pertama, Maap yah ko sebelumnya kalo komen yang satu lagi di apus, kok bisa sih ke kirim 2 kali?

Kedua, serius? halah... ini mah tulisan becanda. Kalau dianggap serius, wah.. sebuah kehormatan bagi saya. hihihi....

@ndoro kakung:
1000 Kalori dan 2 jam ditambah ngumpet2 dari bos saat menulis. :D

@anom:
Iya tuh nom, marahin aja. Kalo ga lu kirimin email trus suruh banyak baca wikipedia, atao anombramanjati.wordpress.com, hehehe...

Anonymous said...

Iya, kadang saya juga bingung. Kenapa orang IT masih pada di JKT...? (*haha, ngeselin banget pertanyaannya*)

Umumnya jawabannya simpel, karena JKT adalah comfort safe zone buat mereka.

Yang kedua, masalah kurangnya inovasi dan informasi. Kalo masalah inovasi, mungkin bisa diwajarkan (walaupun sebenernya nggak wajar). Tapi kalo masalah informasi. Itu yang gila. Udah kerja di IT kok miskin info.

Contoh: IT'ers India yang nggak doyan ninggalin ranah kelahirannya, rela belajar bahasa-bahasa asing selain inggris, demi masuk ke bursa kerja freelanca negara yang tidak menggunakan bahasa inggris (hanya demi info job based-project). Sementara yang berani, merantau ke Sillicon Valley mencari segenggam kari segumpal berlian.

Tapi sejujurnya, saya tidak merendahkan kemampuan skill IT anak-anak kampung sendiri. Sebab ada diantara mereka bikin video clip animasi 3D sebuah band ternama asuhan Hollywood. Bahkan ada yang membuat nama EA (Electronic Arts) jadi sedemikian besar seperti itu. Bahkan hingga memiliki sebuah kantor (pribadi) di sebelahnya kantor Bill Gates.

Selain itu, prihatin, dengan minimnya investasi IT Indonesia. Bahkan lebih prihatin lagi, dengan teman-teman IT yang tidak berani berinvestasi untuk diri mereka sendiri.

(*heran saya... kao komen kok doyan panjang-panjang sih? Ga papa, anggap aja ini investasi komen. Hehe*)

Anonymous said...

Adi,

Kalau udah membandingkan gaji, apalagi dengan gaji di luar negeri saya suka bingung...bagaimana cara membandingkannya? Kalau berbagai valas dengan rupiah, sudah ada aturannya.

Kebetulan pacar anakku kuliah dan sekarang nyambi kerja di Miami, gaji dia 62,000 USD/pa...tapi kan pajaknya langsung dipotong, belum dia harus membayar angsuran ke Iowa (karena biaya kuliah berupa Loan). Sewa apartemen kosong 1,000 USD per bulan...bayangin tinggal berapa, benar-benar harus hemat...Entah kalau nanti makin terampil, mestinya gaji juga makin tinggi.

Sama kan dengan konsultan atau lawyer, awalnya mungkin hanya mendapat fee dari perkara...lama -lama jika terkenal dan kemungkinan yang dibela banyak yang berhasil, fee nya bisa milyard.

Terus perusahaan konstruksi, kan fee nya rata-rata 10% dari total proyek. Nahh, berarti jika IT didasarkan proyek, pembayaran atas dasar fee...dan kalau nama udah dikenal, hasilnya baik, tidak gampang ada masalah (ATM ngadat, tak bisa on line, misalnya)...tentu fee juga akan meningkat.

Sebetulnya mengerjakan per proyek tak masalah, asal proyeknya terus menerus, kan hasilnya bakalan gede. Dan memang sih diusahakan agar proyek ini segera selesai, sehingga langsung dapat uang. Ini kan sama seperti usaha jasa konstruksi, menghitung pembayaran berdasar proyek per proyek, beda dengan usaha industri, misalnya pabrik kertas.

Mau bikin produk? Dulu mahasiswa Malaysia banyak dikirim belajar ke UGM, ITB, IPB, UI dll...teman kuliahku ada yang dari Malaysia, juga Iran. Tapi Malaysia sekarang dianggap lebih maju, karena mereka mulai dari membuat produk yang kecil-kecil dulu, yang nantinya setelah pengalaman akan mendapatkan proyek yang besar.

Hmm...jangan salah lho, proyek IT sebagian besar Bank-bank BUMN yang pegang orang Indonesia asli...berarti udah bagus kan? Dan mereka ternyata tak kalah dengan orang asing.

(sorry ya, jika ga nyambung...mungkin diskusinya perlu pakai kopdar, dan ketemu Patricia)

Anonymous said...

Kadang-kadang yang bikin project mundur karena programernya sering terima order pribadi dan ngerjainnya di kantor....
:-(

Anonymous said...

@atas:

kenapa programmer sering terima objekan (atau menurut istilah elo "order pribadi")? Karena perusahaan gajinya ngga layak! Jangan disalahin programmernya, salahin dulu perusahaannya!!!! Kalau perusahaan gajinya layak, tentunya programmer juga akan loyal ke perusahaan dan ngga nyari objekan.

adiwirasta said...

@kebogila:

mungkin bisa disimak tulisan ini

Kategori

info (205) foto (133) komentar ga penting (128) fotografi (123) Technology (104) Kantor (95) website (88) blog (84) Jakarta (78) comic strip (75) bisnis (71) karir (51) suara hati (51) senda-gurau (50) wisata (38) Bekasi (37) Internet (34) manajemen (31) kuliner (22) selebritis (21) soccer (21) Navision (20) iklan (14) kasus (14) sql server 2005 (13) buku (11) Greeting (10) movie (10) komik strip (9) novel (9) programming (9) televisi (9) Banjir (8) VCD/DVD (8) kopi (8) Vanessa (7) billiard (7) hypermarket (7) bogor (6) kesehatan (6) rumah (6) old document (5) Terios (4) basket (4) guru (4) Axapta (3) bioinformatika (3) azure (1)

My Instagram